Untuk mengetahui kondisi dan keadaan siswa banyak metode dan
pendekatan yang dapat digunakan, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu
studi kasus (Case Study). Dalam perkembangannya, oleh karena kompleksitas
permasalahan yang dihadapi siswa dan semakin majunya pengembangan teknik-teknik
pendukung – seperti hanya teknik pengumpulan data, teknik identifikasi masalah,
analisis, interpretasi, dan treatment – metode studi kasus terus
diperbarui.
Studi kasus akan mempermudah konselor sekolah untuk membantu
memahami kondisi siswa seobyektif mungkin dan sangat mendalam. Membedah
permasalahan dan hambatan yang dialami siswa sampai ke akar permasalahan, dan
akhirnya konselor dapat menentukan skala prioritas penanganan dan pemecahan
masalah bagi siswa tersebut.
Pengertian Studi Kasus
Kamus Psikologi (Kartono dan Gulo, 2000) menyebutkan 2 (dua)
pengertian tentang Studi kasus (Case Study) pertama Studi kasus
merupakan suatu penelitian (penyelidikan) intensif, mencakup semua informasi
relevan terhadap seorang atau beberapa orang biasanya berkenaan dengan satu
gejala psikologis tunggal. Kedua studi kasus merupakan
informasi-informasi historis atau biografis tentang seorang individu,
seringkali mencakup pengalamannya dalam terapi. Terdapat istilah yang berkaitan
dengan case study yaitu case history atau disebut riwayat kasus,
sejarah kasus. Case history merupakan data yang terimpun yang
merekonstruksikan masa lampau seorang individu, dengan tujuan agar orang dapat
memahami kesulitan-kesulitannya yang sekarang . serta menolongnya dalam usaha
penyesuaian diri (adjustment) (Kartini dan Gulo, 2000).
Berikut ini definisi studi kasus dari beberapa pakar dalam
Psikologi dan Bimbingan Konseling, yaitu ;
Studi kasus adalah suatu teknik mempelajari seorang individu
secara mendalam untuk membantu memperoleh penyesuaian diri yang lebih baik.
(I.Djumhur, 1985).
Studi kasus adalah suatu metode untuk mempelajari keadaan
dan perkembangan seorang murid secara mendalam dengan tujuan membantu murid
untuk mencapai penyesuaian yang lebih baik (WS. Winkel, 1995).
Studi kasus adalah metode pengumpulan data yang bersifat
integrative dan komprehensif. Integrative artinya menggunakan berbagai teknik
pendekatan dan bersifat komprehensif yaitu data yang dikumpulkan meliputi
seluruh aspek pribadi individu secara lengkap (Dewa Ketut Sukardi, 1983).
Studi kasus merupakan teknik yang paling tepat digunakan
dalam pelayanan bimbingan dan konseling karena sifatnya yang komprehensif dan
menyeluruh. Studi kasus menggunakan hasil dari bermacam-macam teknik dan alat
untuk mengenal siswa sebaik mungkin, merakit dan mengkoordinasikan data yang
bermanfaat yang dikumpulkan melalui berbagai alat. Data itu meliputi studi yang
hati-hati dan interpretasi data yang berhubungan dan bertalian dengan
perkembangan dan problema serta rekomendasi yang tepat.
Jadi berdasarkan pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa
studi kasus adalah suatu studi atau analisa komprehensif dengan menggunakan
berbagai teknik. Bahan dan alat mengenai gejala atau ciri-ciri/karakteristik
berbagai jenis masalah atau tingkah laku menyimpang, baik individu maupun
kelompok. Analisa itu mencakup aspek-aspek kasus seperti jenis, keluasan dan
kedalaman permasalahannya, latar belakang masalah (diagnosis) dan latar depan
(prognosis), lingkungan dan kondisi individu/kelompok dan upaya memotivasi
terungkapnya masalah kepada guru pembimbing (konselor) sebagai orang yang
mengkaji kasus. Data yang telah didapatkan oleh konselor kemudian dinvertaris
dan diolah sedemikian rupa hingga mudah untuk diinterpretasi masalah dan
hambatan individu dalam penyesuaiannya.
Tujuan Studi Kasus
Studi
Kasus diadakan untuk memahami siswa sebagai individu dalam keunikannya dan
dalam keseluruhannya. Kemudian dari pemahaman dari siswa yang mendalam,
konselor dapat membantu siswa untuk mencapai penyesuaian yang lebih baik.
Dengan penyesuian pada diri sendiri serta lingkungannya, sehingga siswa dapat
menghadapi permasalahan dan hambatan hidupnya, dan tercipta keselarasan dan
kebahagiaan bagi siswa tersebut.
Sasaran Studi kasus
Sasaran studi kasus adalah individu yang menunjukan gejala
atau masalah yang serius, sehingga memerlukan bantuan yang serius pula. Yang
biasanya dipilih menjadi sasaran bagi suatu studi kasus adalah murid yang
menjadi problem (problem case); jadi seorang murid membutuhkan bantuan
untuk menyesuaikan diri dengan lebih baik, asal murid itu dalam keadaan sehat
rohani atau tidak mengalami gangguan mental.
Strategi
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terkait dengan empat komponen
program yaitu: (1) layanan dasar; (2) layanan responsif; (3)
perencanaan individual; dan (4) dukungan sistem.
1.
STRATEGI UNTUK LAYANAN DASAR BIMBINGAN
a.
Bimbingan Klasikal
Layanan
dasar diperuntukkan bagi semua siswa. Hal ini berarti bahwa dalam peluncuran
program yang telah dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung
dengan para siswa di kelas. Secara terjadwal, konselor memberikan layanan
bimbingan kepada para siswa. Kegiatan layanan dilaksanakan melalui pemberian
layanan orientasi dan informasi tentang berbagai hal yang dipandang bermanfaat
bagi siswa. Layanan orientasi pada umumnya dilaksanakan pada awal pelajaran,
yang diperuntukan bagi para siswa baru, sehingga memiliki pengetahuan yang utuh
tentang sekolah yang dimasukinya. Kepada siswa diperkenalkan tentang berbagai
hal yang terkait dengan sekolah, seperti : kurikulum, personel (pimpinan, para
guru, dan staf administrasi), jadwal pelajaran, perpustakaan, laboratorium,
tata-tertib sekolah, jurusan (untuk SLTA), kegiatan ekstrakurikuler, dan
fasilitas sekolah lainnya. Sementara layanan informasi merupakan proses bantuan
yang diberikan kepada para siswa tentang berbagai aspek kehidupan yang
dipandang penting bagi mereka, baik melalui komunikasi langsung, maupun tidak
langsung (melalui media cetak maupun elektronik, seperti : buku, brosur,
leaflet, majalah, dan internet). Layanan informasi untuk bimbingan klasikal
dapat mempergunakan jam pengembangan diri. Agar semua siswa terlayani kegiatan
bimbingan klasikal perlu terjadwalkan secara pasti untuk semua kelas.
b.
Bimbingan Kelompok
Konselor
memberikan layanan bimbingan kepada siswa melalui kelompok-kelompok kecil (5
s.d. 10 orang). Bimbingan ini ditujukan untuk merespon kebutuhan dan minat para
siswa. Topik yang didiskusikan dalam bimbingan kelompok ini, adalah masalah
yang bersifat umum (common problem) dan tidak rahasia, seperti :
cara-cara belajar yang efektif, kiat-kiat menghadapi ujian, dan mengelola
stress. Layanan bimbingan kelompok ditujukan untuk mengembangkan keterampilan
atau perilaku baru yang lebih efektif dan produktif.
c.
Berkolaborasi dengan Guru Mata Pelajaran atau Wali Kelas
Program
bimbingan akan berjalan secara efektif apabila didukung oleh semua pihak, yang
dalam hal ini khususnya para guru mata pelajaran atau wali kelas. Konselor
berkolaborasi dengan guru dan wali kelas dalam rangka memperoleh informasi
tentang siswa (seperti prestasi belajar, kehadiran, dan pribadinya), membantu
memecahkan masalah siswa, dan mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat
dilakukan oleh guru mata pelajaran. Aspek-aspek itu di antaranya : (a)
menciptakan sekolah dengan iklim sosio-emosional kelas yang kondusif bagi
belajar siswa; (b) memahami karakteristik siswa yang unik dan beragam; (c)
menandai siswa yang diduga bermasalah; (d) membantu siswa yang mengalami
kesulitan belajar melalui program remedial teaching; (e) mereferal
(mengalihtangankan) siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
kepada guru pembimbing; (f) memberikan informasi tentang kaitan mata pelajaran
dengan bidang kerja yang diminati siswa; (g) memahami perkembangan dunia
industri atau perusahaan, sehingga dapat memberikan informasi yang luas kepada
siswa tentang dunia kerja (tuntutan keahlian kerja, suasana kerja, persyaratan
kerja, dan prospek kerja); (h) menampilkan pribadi yang matang, baik dalam
aspek emosional, sosial, maupun moral-spiritual (hal ini penting, karena guru
merupakan “figur central” bagi siswa); dan (i) memberikan informasi tentang
cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya secara efektif.
d.
Berkolaborasi dengan Orang Tua
Dalam
upaya meningkatkan kualitas peluncuran program bimbingan, konselor perlu
melakukan kerjasama dengan para orang tua siswa. Kerjasama ini penting agar
proses bimbingan terhadap siswa tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga
oleh orang tua di rumah. Melalui kerjasama ini memungkinkan terjadinya saling
memberikan informasi, pengertian, dan tukar pikiran antar konselor dan orang
tua dalam upaya mengembangkan potensi siswa atau memecahkan masalah yang
mungkin dihadapi siswa. Untuk melakukan kerjasama dengan orang tua ini, dapat
dilakukan beberapa upaya, seperti : (1) kepala sekolah atau komite sekolah
mengundang para orang tua untuk datang ke sekolah (minimal satu semester satu
kali), yang pelaksanaannnya dapat bersamaan dengan pembagian rapor, (2) sekolah
memberikan informasi kepada orang tua (melalui surat) tentang kemajuan belajar
atau masalah siswa, dan (3) orang tua diminta untuk melaporkan keadaan anaknya
di rumah ke sekolah, terutama menyangkut kegiatan belajar dan perilaku
sehari-harinya.
2.
STRATEGI UNTUK LAYANAN RESPONSIF
a.
Konsultasi
Konselor
memberikan layanan konsultasi kepada guru, orang tua, atau pihak pimpinan
sekolah dalam rangka membangun kesamaan persepsi dalam memberikan bimbingan
kepada para siswa.
b.
Konseling Individual atau Kelompok
Pemberian
layanan konseling ini ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami
kesulitan, mengalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya.
Melalui konseling, siswa (klien) dibantu untuk mengidentifikasi masalah,
penyebab masalah, penemuan alternatif pemecahan masalah, dan pengambilan
keputusan secara lebih tepat. Konseling ini dapat dilakukan secara individual
maupun kelompok. Konseling kelompok dilaksanakan untuk membantu siswa
memecahkan masalahnya melalui kelompok. Dalam konseling kelompok ini,
masing-masing siswa mengemukakan masalah yang dialaminya, kemudian satu sama
lain saling memberikan masukan atau pendapat untuk memecahkan masalah tersebut.
c.
Referal (Rujukan atau Alih Tangan)
Apabila
konselor merasa kurang memiliki kemampuan untuk menangani masalah klien, maka
sebaiknya dia mereferal atau mengalihtangankan klien kepada pihak lain yang
lebih berwenang, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan kepolisian. Klien
yang sebaiknya direferal adalah mereka yang memiliki masalah, seperti depresi,
tindak kejahatan (kriminalitas), kecanduan narkoba, dan penyakit kronis.
d.
Bimbingan Teman Sebaya (Peer Guidance/Peer Facilitation)
Bimbingan
teman sebaya ini adalah bimbingan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang
lainnya. Siswa yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau
pembinaan oleh konselor. Siswa yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor
atau tutor yang membantu siswa lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya,
baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu dia juga berfungsi sebagai
mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang
kondisi, perkembangan, atau masalah siswa yang perlu mendapat layanan bantuan
bimbingan atau konseling.
3.
STRATEGI UNTUK LAYANAN PERENCANAAN INDIVIDUAL
a.
Penilaian Individual atau Kelompok (Individual or small-group Appraisal)
Yang
dimaksud dengan penilaian ini adalah konselor bersama siswa menganalisis dan
menilai kemampuan, minat, keterampilan, dan prestasi belajar siswa. Dapat juga
dikatakan bahwa konselor membantu siswa menganalisis kekuatan dan kelemahan
dirinya, yaitu yang menyangkut pencapaian tugas-tugas perkembangannya, atau
aspek-aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier. Melalui kegiatan penilaian
diri ini, siswa akan memiliki pemahaman, penerimaan, dan pengarahan dirinya
secara positif dan konstruktif.
b.
Individual or Small-Group Advicement
Konselor
memberikan nasihat kepada siswa untuk menggunakan atau memanfaatkan hasil
penilaian tentang dirinya, atau informasi tentang pribadi, sosial, pendidikan
dan karir yang diperolehnya untuk (1) merumuskan tujuan, dan merencanakan
kegiatan (alternatif kegiatan) yang menunjang pengembangan dirinya, atau
kegiatan yang berfungsi untuk memperbaiki kelemahan dirinya; (2) melakukan
kegiatan yang sesuai dengan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan
(3)mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukannya.
4.
STRATEGI UNTUK DUKUNGAN SISTEM
a.
Pengembangan Professional
Konselor
secara terus menerus berusaha untuk “meng-update” pengetahuan dan
keterampilannya melalui (1) in-service training, (2) aktif dalam organisasi
profesi, (3) aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar dan workshop
(lokakarya), atau (4) melanjutkan studi ke program yang lebih tinggi
(Pascasarjana).
b.
Pemberian Konsultasi dan Berkolaborasi
Konselor perlu melakukan konsultasi dan
kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah lainnya, dan pihak institusi di
luar sekolah (pemerintah, dan swasta) untuk memperoleh informasi, dan umpan
balik tentang layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa,
menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan
referal, serta meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling. Dengan
kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya sekolah untuk menjalin kerjasama
dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang relevan dengan peningkatan mutu
layanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti dengan pihak-pihak (1)
instansi pemerintah, (2) instansi swasta, (3) organisasi profesi, seperti ABKIN
(Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), (4) para ahli dalam bidang
tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan orang tua
siswa, (5) MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling), dan (6) Depnaker
(dalam rangka analisis bursa kerja/lapangan pekerjaan).
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan
konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata
tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas
sebagai penjaga piket, mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi
wewenang untuk menghukum siswa yang bersalah.
Dengan
kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor
justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat
mencurahkan segala yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan
pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina
perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan
dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
Hemmmm....
sudah sekian lama Profesi bimbingan dan konseling ada, namun semua ini masih
menjadi “cita-cita”, kapan “cita-cita” ini akan menjadi sesuatu yang nyata?
Kenyataan yang ada dan nyata “Polisi sekolang” yang “dikondisikan” masih terus
ada.
Sejarah
kelahiran layanan bimbingan dan konseling di lingkungan pendidikan di tanah air
dapat dikatakan tergolong unik. Terkesan oleh layanan bimbingan dan konseling
di sekolah-sekolah yang diamati oleh para pejabat pendidikan dalam
peninjauannya di Amerika Serikat sekitar tahun 1962, beberapa orang pejabat Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan dibentuknya layanan bimbingan dan
penyuluhan di sekolah menengah sekembalinya mereka di tanah air. Kriteria
penentapan konselor ketika itu tidak jelas dan ragam tugasnyapun sangat lebar,
mulai dari berperan semacam ”polisi sekolah” sampai dengan mengkon¬versi hasil
ujian untuk seluruh siswa di suatu sekolah menjadi skor standar.
Pada awal dekade 1960-an, LPTK-LPTK mendirikan jurusan untuk mewadahi tenaga
akademik yang akan membina program studi yang menyiapkan konselor yang
dinamakan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, dengan program studi yang
diselenggarakan pada 2 jenjang yaitu jenjang Sarjana Muda dengan masa belajar 3
tahun, yang bisa diteruskan ke jenjang Sarjana dengan masa belajar 2 tahun
setelah Sarjana Muda. Program studi jenjang Sarjana Muda dan Sarjana dengan
masa belajar 5 tahun inilah yang kemudian pada akhir dekade 1970-an dilebur
menjadi program S-1 dengan masa belajar 4 tahun, tidak berbeda, dari segi masa
belajarnya itu, dari program bakauloreat di negara lain, meskipun ada perbedaan
tajam dari sisi sosok kurikulernya. Pada dekade 1970-an itu pula mulai ada
lulusan program Sarjana (lama) di bidang Bimbingan dan Konseling, selain juga
ada segelintir tenaga akademik LPTK lulusan perguruan tinggi luar negeri yang
kembali ke tanah air.
Kurikulum 1975 mengacarakan layanan Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu
dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai
dengan SMA, yaitu pembelajaran yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan
Bimbingan dan Konseling. Pada tahun 1976, ketentuan yang serupa juga
diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah, dengan kerja sama Jurusan
Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, pada tahun 1976
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak lanjutnya memang raib
ditelan oleh waktu, karena para kepala SMK kurang memberikan ruang gerak bagi
alumni pelatihan Bimbingan dan Konseling tersebut untuk menyelenggarakan
layanan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing.
Tambahan pula, dengan penetapan jurusan yang telah pasti sejak kelas I SMK,
memang agak terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk melaksanakan
layanan bimbingan karier.
Untuk jenjang SD, pelayanan bimbingan dan konseling belum terwujud sesuai
dengan harapan, dan belum ada konselor yang diangkat di SD, kecuali mungkin di
sekolah swasta tertentu. Untuk jenjang sekolah menengah, posisi konselor diisi
seadanya termasuk, ketika SPG di-phase out mulai akhir tahun 1989, sebagian
dari guru-guru SPG yang tidak diintegrasikan ke lingkungan LPTK sebagai dosen
Program D-II PGSD, juga ditempatkan sebagai guru pembimbing, umumnya di SMA.
Meskipun ketentuan perundang-undangan belum memberikan ruang gerak, akan tetapi
karena didorong oleh keinginan kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka
dengan dimotori oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga
akademik di LPTK-LPTK, pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang didirikanlah
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), yang menghimpun konselor lulusan
Program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas di sekolah dan para pendidik
konselor yang bertugas di LPTK, di samping para konselor yang berlatar belakang
bermacam¬-macam yang secara de facto bertugas sebagai guru pembimbing di
lapangan.
Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan, tidak ada ketentuan
tentang ”Akta Konselor”. Oleh karena itu, dicarilah jalan ke luar yang bersifat
ad hoc agar konselor lulusan program studi Bimbingan dan Konseling juga bisa
diangkat sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa program S-1 Bimbingan
dan Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa mengajarkan 1 bidang
studi. Dalam pada itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan
profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan Newsletter sebagai
wahana komunikasi profesional meskipun tidak mampu terbit secara teratur, di
samping mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan kongres. Pada tahun
2001 dalam kongres di Lampung Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan
ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab
salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1
(satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh) peserta didik,
meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah. Dengan jumlah
lulusan yang sangat terbatas sebagai dampak dari kebijakan Ditjen Dikti untuk
menciutkan jumlah LPTK Penyelenggara Program S-1 Bimbingan dan Konseling mulai
tahun akademik 1987/1988, maka semua sekolah menengah di tanah air juga tidak
mudah untuk melaksanakan instruksi tersebut. Sesuai arahan, masing-masing
sekolah menengah ”mengalih tugaskan” guru-gurunya yang paling bisa dilepas
(dispensable) untuk mengemban tugas menyelenggarakan pelayanan
bimbingan dan konseling setelah dilatih melalui Crash Program, dan
lulusannyapun disebut Guru Pembimbing. Dan pada tahun 2003 diberlakukan UU
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut adanya
jabatan “konselor” dalam pasal 1 ayat (6), akan tetapi tidak ditemukan
kelanjutannya dalam pasal-pasal berikutnya. Pasal 39 ayat (2) dalam UU nomor 20
tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik pada perguruan tinggi”,
meskipun tugas “melakukan pembimbingan” yang tercantum sebagai salah satu unsur
dari tugas pendidik itu, jelas merujuk kepada tugas guru, sehingga tidak dapat
secara sepihak ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor. Sebagaimana telah
dikemukakan dalam bagian Telaah Yuridis, sampai dengan diberlakukannya PP nomor
19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen pun, juga belum ditemukan pengaturan tentang Konteks Tugas dan
Ekspektasi Kinerja Konselor. Oleh karena itu, tiba saatnya bagi ABKIN sebagai
organisasi profesi untuk mengisi kevakuman legal ini, dengan menyusun Rujukan
Dasar bagi berbagai tahap dan/atau sisi penyelenggaraan layanan ahli bimbingan
dan konseling yang memandirikan khususnya dalam jalur pendidikan formal di
tanah air, dimulai dengan penyusunan sebuah naskah akademik yang dinamakan
Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan
dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
***)) Diambil dari Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional
Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta:
2007